Game Based Learning dan Gamification
A.Game
Based Learning
Apa sih Game Based learning itu ?
Game-Based
Learning adalah metode pembelajaran yang menggunakan aplikasi permainan/game
yang telah dirancang khusus untuk membantu dalam proses pembelajaran. Game-based
learning secara definisi adalah pengunaan video game sebagai metode
pembelajaran. Ternyata, hal ini bukanlah hal yang baru ditemukan. Banyak
penelitian tentang game-based learning yang memberikan hasil positif.
Sebagai contoh, berdasarkan
hasil-hasil penelitian (Papastergiou, 2009; Jiau, Chen, Ssu, 2009; Kazigmolu,
Kiernan, Bacon, MacKinnon, 2012; Jong, Lai, Hsia, Lin, Lu, 2013), game-based
learning dapat meningkatkan motivasi pelajar dalam proses pembelajaran.
Gee dan Shaffer (2010)
menyatakan, bahwa video game baik untuk pembelajaran karena game dapat membuat
dunia-dunia virtual di mana pemain menyelesaikan simulasi dari masalah dunia
nyata.
Dengan menggunakan Game-Based
Learning kita dapat memberikan stimulus pada tiga bagian penting dalam
pembelajaran yaitu Emotional, Intellectual, Psycomotoric. Game-Based Learning
adalah salah satu metode pembelajaran yang dirasa cocok dengan kondisi dari
generasi digital sekarang ini karena tiga alasan berikut ini :
1)
Menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan
dan membuat semakin motivasi siswa untuk belajar.
2)
Kompetisi dan kerjasama tim dalam menyelesaikan
misi yang ada dalam aplikasi game juga dapat menambahkan komponen motivasi pada
siswa.
3)
Umpan balik yang cepat dan spesifik memberikan
kemudahan bagi siswa untuk memikirkan cara lain yang tepat untuk menyelesaikan
penugasannya.
Tapi memang ada dampak buruk yang
bisa jadi timbul, di antaranya :
1.
Adanya anggapan bahwa ini hanya sekedar
permainan/game.
2.
Jika anda kalah dalam game ini tinggal mencoba
lagi dengan memulainya dari awal.
3.
Memainkan game tanpa menikmati alur yang sudah
disiapkan oleh game tersebut.
Secara garis besar Game-Based
Learning adalah salah satu metode yang bisa digunakan dalam pembelajaran dan
tentunya ini dapat dilakukan tidak dengan kaku melainkan dengan Blended Method,
sehingga ada keseimbangan dalam metode pembelajaran konvensional dengan
Game-Based Learning. Disini ada dua peran unik dari video game yang membuatnya
dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran yang efektif, sebagai motivator dan
simulator.
v Game sebagai motivator
Video
game—dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya—dapat membuat seseorang lebih
tertarik dan semangat dalam menghadapi proses belajar. Kecintaan pemain
terhadap environment yang ada dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi player
untuk lebih betah bermain video game. Karakter, benda, senjata, musik, atau
unsur video game lain yang disukai player dapat memberi motivasi lebih
kepadanya untuk menghabiskan lebih banyak waktunya menjelajahi dunia video
game.
Sebagai contoh, Sonic the
Hedgehog adalah salah satu karakter yang cukup terkenal di dunia game, sudah
banyak sekali game tentang—atau minimal ada—Sonic. Seorang gamer yang menyukai
Sonic memiliki kemungkinan untuk membeli dan mencoba game tentang Sonic walaupun
ia tidak tau kualitas game tersebut, bahkan tetap memainkannya meski gameplay
yang ditawarkan kurang memuaskan.
Adanya sistem level atau stage
pada video game dapat membuat player makin termotivasi untuk menyelesaikan
tantangan yang disuguhkan secara bertahap; biasanya makin lama player bermain,
tantangan yang diberikan akan makin sulit. Namun, tingkat kesulitan yang ada
harus tepat pada takarannya, tidak boleh terlalu sulit sehingga membuat
depresi, atau tidak boleh terlalu mudah sehingga membuat pemain bosan.
“A game is an opportunity to focus our
energy, with relentless optimism, at something we’re good at (or getting better
at) and enjoy. In other words, gameplay is the direct emotional opposite of
depression.”
-Jane McGonigal, Reality Is Broken:
Why Games Make Us Better and How They Can Change the World
v Game sebagai simulator
Sebagai
simulator, video game dapat memfasilitasi berbagai hal yang sulit dimodelkan,
dilakukan, atau disimulasikan di dunia nyata. Dibekali fasilitas tersebut, kita
dapat melakukan berbagai eksperimen dalam game untuk kemudian diaplikasikan ke
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam video game simulasi
penerbangan pesawat, Flight Simulator, kita dapat belajar mengemudikan pesawat
tanpa harus mengeluarkan biaya dan terbebas dari resiko kecelakaan. Lainnya, di
game Football Manager, seorang player dapat berlatih menjadi manager yang
memanajeri sebuah klub sepak bola besar; terutama di seri terbarunya, game ini
cukup kompleks dan kita akan benar-benar merasakan menjadi seorang manager klub
sepak bola profesional.
Game juga menuntut partisipasi
aktif player dalam pembelajaran hal-hal yang konseptual, dapat memberikan
feedback—baik berupa aksi, skor, atau hal lainnya—secara langsung terhadap apa
yang player lakukan. Dalam game Angry Birds, kita diharuskan untuk
menghancurkan tiga babi imut dengan beberapa burung yang kita dapat tembakkan
di setiap stage. Ketika burung sudah habis ditembakkan, rating dan score player
akan langsung ditampilkan oleh game.
v
Multiplayer
Sistem multiplayer
memberikan kebebasan kepada player untuk bermain bersama player lain dalam
game. Seorangplayer dapat berkolaborasi secara kelompok dengan player lain
untuk menyelesaikan tantangan yang disuguhkan pada game. Dengan adanya sistem
ini, player dapat bekerja sama dengan player lain untuk bahu-membahu
mengalahkan tantangan yang diberikan.
Dalam video game, multiplayer
juga membolehkan kita untuk bersaing dengan player lain, seorang player dapat
melawan player lainnya, salIng bersaing untuk mengalahkan satu sama lain.
Seperti dalam fighting atau racing game.
Multiplayer akan lebih maksimal
pada video game yang dapat dimainkan secara online, karena player yang bermain
bersama akan lebih masif. Pada sebagian besar video game MMORPG, kerja sama tim
sangat dituntut untuk mengalahkan boss atau tantangan yang ada. Bahkan, untuk
membuat video game, sangat dibutuhkan kerja sama tim dari orang-orang yang ahli
di bidangnya masing-masing. Washburn University di Kansas misalnya,
mahasiswanya diharuskan untuk belajar proses men-develop video game sebagai
cara untuk membangun kemampuan kerja sama dan kolaboratif mereka.
Seiring
berkembangnya kemajuan teknologi, perkembangan video game pada zaman sekarang
sudah mengalami peningkatan yang pesat. Masih ingatkah Anda dengan console
Playstation yang dirilis tahun 1994? Pada 14 November 2013, Playstation 4
dirilis Sony, dengan berbagai pengembangan yang sangat drastis dari
Playstation, terutama dari segi grafis yang ditampilkan.
Sebuah video game yang baik
biasanya memiliki gameplay (cara memainkan) dan grafis yang baik, Grand Theft
Auto V dan The Last of Us adalah salah dua dari contoh game sukses yang
memenuhi kriteria tersebut. The Last of Us bahkan terjual 3.4 juta kopi hanya dalam
3 minggu setelah dirilis. Dengan desain yang baik, sebuah video game memiliki
potensi untuk sukses dan dimainkan banyak orang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
video game memiliki sisi negatif, kebanyakan rated-M video game menampilkan
banyak aspek kekerasan. Walaupun game tersebut ditujukan untuk orang dewasa,
tidak tertutup kemungkinan anak-anak yang masih di bawah umur memiliki game
tersebut dan memainkannya, tentu ini akan memberikan pengaruh buruk bagi
anak-anak. Penelitian yang dilakukan oleh Craig Anderson pada Maret 2014
menyatakan jika anak-anak memainkan video game yang banyak mengandung unsur
kekerasan cenderung membuat pribadi mereka menjadi lebih agresif.
Bagaimana jika potensi video game
untuk ‘memengaruhi’ dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih baik, contohnya
seperti sebagai sarana pembelajaran? Sebenarnya, game memiliki potensi besar
untuk dimanfaatkan dalam hal tersebut.
Video Game dan
Pembelajaran (Learning)
“Look at ‘World of Warcraft’: You’ve got 11-year-olds who are learning
to delegate responsibility, promote teamwork and steer groups of people toward
a common goal.”
- Ian Bogost, Georgia Institute
of Technology associate professor, Founder of Persuasive Games
Ketika memainkan video game,
sembari bermain, kita belajar. Progress apapun yang kita capai dalam video game
dapat dikategorikan sebagai sebuah pembelajaran (Trybus, 2009). Kita akan
mendapatkan berbagai hal serta pengalaman-pengalaman baru seiring berjalannya
game ke level/stage yang lebih menantang.Pada akhirnya, akumulasi dari berbagai
pengalaman seorang player-lah yang akan menjadi bekal utamanya untuk
menyelesaikan video game yang ia mainkan.
Pembelajaran
bukanlah hanya sekedar mengingat teori, tapi juga tentang memahami konsep dan
mengaplikasikannya langsung dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih ketika kita
benar-benar dituntut untuk mengaplikasikan hasil belajar kita. Banyak orang
yang kurang (atau tidak) cocok dengan traditional learning (sistem pembelajaran
tradisional) seperti yang diimplementasikan di kebanyakan sekolah sekarang.
Karena itu, dibutuhkan sistem pembelajaran yang efektif untuk memenuhi
kebutuhan pembelajaran tersebut. Dengan potensi yang dimiliki game, game-based
learning mengupayakan sistem pembelajaran dengan menggunakan game, salah satu
pengaplikasiannya adalah melalui salah satu cabang game, yaitu video game.
“Just playing isn’t enough,
though. The key is that you have to be improving each time you play, because in
order to improve you have to be learning.“
- Dr. Erziel Kornel, A
principalof Brain & Spine Surgeons of New York
Menurut Dr. Kornel pula dalam
WebMD.com, video game seperti Brain Age atau Guitar Hero dapat meningkatkan
koordinasi antara mata dengan tangan, meningkatkan kemampuan pengambilan
keputusan dalam waktu cepat, serta dapat meningkatkan persepsi auditori.
v Tantangan
Dalam
penggunaan game-based learning sebagai sarana pembelajaran, tantangan yang dihadapi
adalah bagaimana meyakinkan orang banyak bahwa game dapat menjadi salah satu
sarana pembelajaran yang efektif. Meskipun penelitian tentang penggunaan game
sebagai sarana pembelajaran sudah cukup banyak memberikan hasil positif, para
ahli perlu meneliti lebih lanjut tentang sampai mana, seperti apa, dan sampai
sejauh apa game dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran.
Men-developvideo gameyang dapat
dijadikan—secara spesifik—sebagai sarana pembelajaran adalah tantangan
tersendiri bagi para game developer. Perlu penelitian yang cukup untuk membuat
desain video game yang baik dan mendukung proses belajar supaya player dapat
tertarik serta kegiatan pembelajaran dapat lebih efektif sekaligus
menyenangkan.
B. Gamification
Pada zaman sekarang
ada banyak elemen dalam dunia game yang dapat membuat orang terikat atau
menjadi ketergantungan dengan sebuah game. Dengan adanya fenomena tersebut,
membuat banyak praktisi maupun developer di belahan bumi ini yang mencoba
memanfaatkan peluang tersebut dengan mempelajari elemen-elemen dari game, lalu
menerapkannya dalam suatu bidang keilmuan yang kini dikenal dengan istilah
gamification. Dimana elemen-elemen yang ada di dalam suatu game, kini
diterapkan untuk keperluan diluar game―yang salah satunya adalah sebagai metode
training/pelatihan karyawan.
Menurut Michael Wu (2011) dalam
lithosphere.lithium.com, mendefinisikan gamification sebagai berikut: “The use
of game mechanics and dynamics to drive game like engagement in a non-game
context. However, after seeing the numerous implementations of gamification at
this symposium, I am convinced that the use of only game mechanics/dynamics may
be too restrictive.”
Sementara Gamification.org mendefiniskan
gamification sebagai berikut: “gamification is typically involves applying game
design thinking to non-game applications to make them more fun and engaging”.
Kevin Werbach (2012) dalam coursera.org juga menjelaskan, “gamification is the
application of game elements and digital game design techniques to non-game
problems, such as business and social impact challenges”. Sedangkan Mike Beaty
dalam gamebrief.com menjelaskan, “gamification holds a lot of promise for
internal operations as well. It is a great way for companies to engage their
employees”.
Gamification adalah penerapan teknik dan
strategi dari sebuah permainan ke dalam konteks nonpermainan untuk
menyelesaikan suatu masalah. Metode ini bekerja dengan cara membuat materi atau
teknologi menjadi lebih menarik dengan mendorong pengguna untuk ikut terlibat
dalam perilaku yang diinginkan. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan partisipasi,
motivasi, dan prestasi audiens. Meski awalnya banyak digunakan untuk marketing,
gamifikasi kini banyak diterapkan dalam dunia pendidikan. Metode pembelajaran
gamifikasi berarti menerapkan prinsip kerja sebuah permainan ke dalam proses
pembelajaran, dengan tujuan untuk menumbuhkan motivasi belajar dan mengubah
perilaku siswa.
Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa gamification adalah menyatukan suatu masalah dalam aplikasi
non-game menjadi memiliki unsur game, sehingga dapat mengikat penggunanya.
Dalam hal ini, gamification bisa diterapkan dalam perusahaan terhadap
karyawannya.
Namun, proses-proses apa saja yang akan
dilibatkan dalam metode gamification pada training karyawan ini tergantung
pada: (1) apa yang HRD tetapkan; (2) apa yang menjadi permasalahan utama dalam
kinerja dari para karyawannya; (3) dan juga apa yang akan dicapai atas training
yang dilakukan melalaui gamification ini.
Umumnya, gamification mengadopsi salah satu
atau beberapa game mechanics yang telah ada, seperti:
1.
Badges, dengan adanya badges karyawan akan
merasa mendapatkan suatu penghargaan atas apa yang dilakukannya, hal ini serupa
dengan selayaknya kompensasi yang ia dapat atas pekerjaan yang dilakukannya
selama 1 bulan waktu kerja. Karena itulah harus adanya suatu penghargaan agar
karyawan merasa dihargai atas apa yang dilakukannya untuk perusahaan. Contoh
penerapannya sendiri apabila dilakukan training untuk karyawan adalah, 1st
Attendance (karyawan pertama yang hadir dalam training), Speak Out! (karyawan
teraktif saat training berlangsung), ataupun juga Best Group (grup karyawan
dalam training terbaik).
2.
Leaderboards, menampilkan hasil pencapaian dari
seluruh karyawan antara satu karyawan dengan karyawan yang lainnya dengan
urutan ranking tertinggi dan terendah. Leaderboards sendiri dapat memacu
kompetisi yang positif antar karyawan apabila diterapkan.
3.
Quest, selain sebagai arahan atas apa yang harus
dilakukan karyawan dalam training nantinya, quest juga dapat digunakan oleh
pihak HRD sebagai tolak ukur performansi dari karyawan saat training. Berapa
banyak quest yang dapat diselesaikan, dan juga sejauh mana keberhasilannya saat
menjalankan hal tersebut.
Sampai dengan saat ini, metode gamification
tersebut telah sukses diaplikasikan di berbagai lingkungan perusahaan di
berbagai negara, sepertihalnya Xerox (merupakan metode yang digunakan oleh
suatu perusahaan untuk pelatihan bagi para manajernya); Siemens PlantVille
(game online ini bisa membawa keuntungan selain untuk peningkatan brand
awareness dari Siemens, juga dapat memberikan edukasi bagi karyawan dan bahkan
masyarakat luas melalui kegiatan simulasi mengenai cara mengelola suatu
industri); IBM INNOV8 2.0 (game yang memuat fokus simulasi terhadap pemahaman
bagaimana Business Process Management mempengaruhi keseluruhan ekosistem dalam
bisnis). Selain beberapa contoh penerapan gamification di atas, sudah mulai
bermunculan beberapa pelaku industri di bidang gamification, diantaranya adalah
BigDoor dan uBoost, dan sebagainya.
Namun, apakah metode gamification tersebut
dapat diterapkan pula sebagai metode training bagi karyawan di Indonesia?
Jika ditelisik lebih dalam, penerapan
gamification di Indonesia ternyata menyediakan peluang yang cukup besar. Hal
itu dikarenakan banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang menjadi pengguna game.
Rata-rata dari mereka adalah penduduk usia produktif, dengan rentang usia
berkisar antara 17 tahun sampai dengan 40 tahun.
Seperti yang dikutip dari Indonesia Finance
Today, menurut Produk Development Online PT Infomedia Nusantara, Utomo
Hexavianto, hingga tahun 2010 sudah terdapat 30 juta pengguna game online di
Indonesia. Namun menurut Ketua Umum International Game Developer Association
(IGDA) Indonesia Samuel Henry, bila jumlah tersebut digabungkan dengan jenis
game lainnya, maka jumlah pemain akan jauh lebih banyak―bahkan bisa menyamai
jumlah pengguna internet di Indonesia (https://www.digitalkreatif.com, 2012).
Ditambah lagi dengan melihat fakta yang ada, pertumbuhan pengguna game di
Indonesia sudah mencapai 30% per tahun (https://www.swa.com, 2012).
Dengan tingginya jumlah usia produktif yang
menggunakan game, tentunya menjadi peluang tersendiri bagi penerapan metode
gamification dalam proses training karyawan di Indonesia. Metode pelatihan yang
pada mulanya terkesan membosankan dan harus memakan waktu lama pada saat itu
juga, kini menjadi lebih efisien. Bahkan, untuk melakukan program pelatihan,
setiap karyawan tidak harus mengikuti jadwal maupun menyesuaikan tempat
diadakannya suatu pelatihan, namun, setiap karyawan bisa melakukannya sesuai
dengan waktu yang diinginkannya. Karena pelatihan dengan menggunakan metode
gamification bisa dilakukan kapanpun dan di manapun.
Dengan begitu, dipastikan proses penerapan
gamification dalam program pelatihan karyawan di suatu organisasi akan memberikan
pengaruh yang cukup signifikan terhadap “daya tangkap” (dan daya ingat) suatu
materi―mengingat cara penyampaian materi yang lebih menarik dan menyenangkan:
menyerupai game, namun berisi pengetahuan tentang suatu materi pelatihan dan
bisa dipelajari selayaknya bermain game
Contoh penerapan gamifikasi pada e-learning
atau web-based learning antara lain:
Ø
educade.org, menyediakan berbagai alat
pembelajaran, termasuk permainan, untuk tiap tingkat usia dan berbagai mata
pelajaran
Ø
icivics.org, merupakan situs penyedia video
games pendidikan yang dibuat untuk menanamkan pengetahuan umum pada anak-anak
muda Amerika.
Ø
guraru.org, menerapkan gamifikasi melalui sistem
poin dan ajang penghargaan.
Berikut langkah-langkah penerapan
gamifikasi dalam pembelajaran:
1)
Kenali tujuan pembelajaran
2)
Tentukan ide besarnya
3)
Buat skenario permainan
4)
Buat desain aktivitas pembelajaran
5)
Bangun kelompok-kelompok
6)
Terapkan dinamika permainan
Kelebihan
dan Kekurangan Gamifikasi
Model pembelajaran gamifikasi memiliki
beberapa kelebihan dibandingan model pembelajaran lainnya, antara lain:
Belajar jadi lebih menyenangkan
Mendorong siswa untuk menyelesaikan
aktivitas pembelajarannya
Membantu siswa lebih fokus dan memahami
materi yang sedang dipelajari
Memberi kesempatan siswa untuk
berkompetisi, bereksplorasi dan berprestasi dalam kelas
Namun, model pembelajaran ini juga memiliki
beberapa kelemahan jika tidak diterapkan dengan matang:
Ø
Dapat diprediksi dan membosankan
Ø
Menjadi tidak bermakna, jika tujuan pembelajaran
tidak tergambarkan dengan baik atau tidak tercapai
Ø
‘Merusak’ secara psikologis
Source :
*Diakses pada tanggal 16 Maret 2018



Komentar
Posting Komentar